Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty mengatakan anggapan tersebut awalnya populer karena memang dulu lapangan kerja banyak membutuhkan kemampuan kasar. Dengan memiliki banyak anak, maka akan ada banyak sumber daya yang bisa dimanfaatkan.
Namun demikian di zaman modern kebutuhan tenaga kerja sudah bergeser. Persaingan semakin ketat dan ilmu berkembang maju membuat mereka dengan ketrampilan halus yang lebih banyak dicari.
"Dulu sawah itu dikelola sama otot dan kerbau, sekarang enggak sudah pakai mesin teknologi. Jadi kalau kita terus berpikir ke belakang enggak akan sukses," kata Surya ketika ditemui di Hotel Ibis, Cawang, Jakarta Timur, Kamis (15/12/2016).
Lebih lanjut Surya mengatakan dengan memiliki anak yang lebih sedikit maka orang tua dapat konsentrasi memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian anak dapat tumbuh optimal sebagai individu yang berkualitas.
"Apa dua anak cukup tidak bisa untuk jadi sukses? Bisa kalau mereka berkualitas. Kalau mereka sudah dibangun sejak kecil," kata Surya.
"Waktu di kandungan ibunya hamil terus ibu belajar matematika, terus ibu mendengarkan musik atau membisikkan kalimat-kalimat tuhan maka akan jadi anak itu. Begitu melahirkan langsung diiniasi menyusui dini, tidak ada susu sapi, tidak ada rokok di dalam rumah maka jadi anak itu berkualitas," lanjut Surya.
Keluarga yang mengejar banyak anak tanpa terencana adalah salah satu faktor risiko untuk terjadinya kasus tumbuh pendek atau stunting. Menurut data yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 ada sekitar 37,2 persen status balita yang pendek di Indonesia.
Ketika suatu negara dilanda masalah stunting maka pertumbuhan ekonominya akan terpengaruh. Hal ini karena potensi sumber daya manusianya tidak berkembang optimal.(fds/up)
0 Response to "Pengendalian Penduduk Masih Terhambat Mitos 'Banyak Anak Banyak Rezeki'"
Posting Komentar