Sayangnya, pakar mengatakan masih sedikit potensi tanaman berkhasiat obat yang digunakan sebagai bahan baku industri obat herbal modern. Ondri Dwi Sampurno, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan biaya merupakan hambatan utama pelaku industri untuk mengembangkan obat tradisional jenis jamu menjadi tingkatan di atasnya.
Dijelaskan Ondri, obat tradisional atau obat herba terbagi menjadi tiga kategori. Pertama adalah jamu, yakni obat tradisional yang penggunaannya dilakukan turun temurun dan khasiatnya sudah dibuktikan secara empiris.
Kedua adalah obat herba terstandar (OHT) yang keamanan dan khasiatnya sudah dibuktikan melalui uji ilmiah pra-klinis atau dilakukan pada hewan. Ketiga adalah fitofarmaka, obat yang mengandung ekstrak atau compound dari tanaman atau hewan yang memiliki khasiat obat dan sudah terbukti aman digunakan untuk manusia melalui uji klinis.
Data BPOM menunjukkan saat ini adalah lebih dari 8.000 produk jamu yang terdaftar di BPOM. Di sisi lain, hanya ada 45 OHT yang terdaftar dan 5 yang masih dalam proses. Bahkan untuk fitofarmaka lebih sedikit lagi, hanya ada 8 produk yang terdaftar dengan 6 produk sedang dalam proses.
Ketimpangan jumlah produk antara jamu, OHT dan fitofarmaka sangat jelas terlihat. Mengenai hal ini, Ondri mengatakan kurang biaya merupakan alasan utama terjadinya ketimpangan dalam produk obat herbal dan tradisional di Indonesia.
Baca juga: Kaya Sumber Daya Alam, Kenapa Indonesia Masih Impor 95 Persen Bahan Baku Obat?
"Karena untuk meningkatkan dari jamu menjadi obat herba terstandar harus melalui uji pra-klinis yang dilakukan ke hewan. Ini butuh biaya riset yang tidak sedikit. Sama juga, dari obat herbal terstandar ke fitofarmaka harus melalui uji klinis ke manusia, biayanya juga tidak sedikit," tutur Ondri dalam dialog Percepatan Pengembangan Obat Herbal Modern Asli Indonesia melalui JKN, di Hotel Sultan, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof Dr Sangkot Marzuki, MSc, mengatakan uji ilmiah, baik pra-klinis maupun klinis merupakan elemen penting dalam penelitian obat-obatan. Uji ilmiah ini tidak boleh dilewatkan dalam tahap penelitian.
Prof Sangkot mengatakan tujuan obat memang untuk menyembuhkan penyakit. Namun ia juga mengingatkan untuk digunakan kepada pasien, obat harus dijamin bebas dari efek samping yang malah merugikan.
"Tidak boleh uji klinis itu di bypass atau dilewati. Obat selain untuk menolong pasien juga harus terbebas dari efek samping yang kira-kira timbul dan malah merugikan atau membahayakan pasien," tuturnya.
Baca juga: Kata Dokter Soal Konsumsi Obat Herba Selama Jalani Terapi Kanker
(mrs/vit)
0 Response to "Ini Alasan Kurangnya Jumlah Obat Herba Terstandar dan Fitofarmaka di Indonesia"
Posting Komentar