Setidaknya sudah 3 kali dokter Indonesia mengadakan unjuk rasa dengan tema yang berbeda-beda. Pertama, unjuk rasa membela dakwaan pidana terhadap dokter Ayu cs, kedua unjuk rasa menuntut reformasi Jaminan Kesehatan Nasional dan yang terakhir pada tanggal 24 Oktober 2016 bertema menolak dokter layanan primer. Dibandingkan dengan tema unjuk rasa bahkan pemogokkan massal oleh teman sejawatnya di negara lain, tema, waktu dan kegiatan unjuk rasa dokter di Indonesia tergolong lebih baik.
Pemogokan dokter yang tergabung dalam British Medical Association dan dibahas pada Journal Medical Ethics tahun 2013 mempertanyakan mengapa dokter harus dikenai aturan yang berbeda dalam hal unjuk rasa, padahal sama haknya sebagai warga negara? Tentu jawabannya tidak mengatakan bahwa itu takdir profesi dokter. Pada jurnal sebelumnya, The New England Journal of Medicine (2004) memuat faktor ketidakpuasan pekerjaan dokter sebagai penyebab utama pemogokan dokter baik di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman dan Prancis, maupun di negara berkembang seperti El Savador, Nicaragua, India dan lain sebagainya.
Pemogokan dokter di dunia terdokumentasi dengan baik dalam berbagai jurnal ilmiah, hal ini terjadi karena ketidakpuasan kelompok dokter mempunyai pengaruh besar terhadap pengambilan keputusan medis oleh dokter, hambatan pelayanan publik, ketidakpercayaan dokter terhadap sistem, perubahan perilaku dokter, perubahan komunikasi pasien-dokter dan dalam jangka panjang akibat yang ditimbulkan oleh ketidakpuasan kelompok dokter disebut dengan professional malaise.
Telaah ilmiah yang ditulis dalam British Medical Journal 2015 menerangkan bahwa pemogokan oleh dokter di berbagai negara semuanya bertema menuntut perbaikan kesejahteraan dokter. Jurnal tersebut juga menulis bahwa pemogokan yang dilakukan oleh dokter di berbagai negara tidak berdampak terhadap angka mortalitas pasien walaupun pemogokan dilakukan antara 9 hari-4 bulan.
Hal ini terjadi karena biasanya asosiasi dokter terlebih dahulu mengatur penempatan dokter pada unit unit gawat darurat dan pada pasien kritis. Terkait jurnal tersebut dalam unjuk rasa oleh dokter ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu penerapan urgent and emergency care strategy atau menetapkan rencana tatalaksana pasien darurat, menetapkan tim medis pengganti dan indirect patient care .
Berbeda dengan persepsi umum yang melihat dokter hidup berkelimpahan, kehidupan dokter penuh dengan tekanan. Tekanan birokrat, beban administrasi non medis, tuntunan kesembuhan pasien, perasaan frustasi, kekurangan waktu istirahat, kurangnya family time, dan beban pajak merupakan faktor faktor penyebab stres pada dokter, tidak heran data yang dirilis oleh National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) pada tahun 2011 di Amerika Serikat menempatkan dokter dan dokter gigi dalam posisi teratas sebagai profesi yang memiliki angka paling tinggi untuk kasus bunuh diri. Hal ini tentu memiliki implikasi yang besar bagi pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.
Di Indonesia sendiri, unjuk rasa oleh dokter dianggap tidak lazim, walaupun sebetulnya dalam catatan, sejarah unjuk rasa di Indonesia dilakukan oleh seorang dokter yaitu Dokter Tjipto Mangunkusumo dan teman-temannnya dalam pementasan ketoprak bersamaan dengan Kongres National Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH) pada Tahun 1920 di Surakarta yang dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Unjuk rasa merupakan hak fundamental warga negara untuk mengekspresikan pendapatnya demikian juga bagi dokter. Selama unjuk rasa yang dilakukan logis dan tidak melanggar hukum, sah sah saja untuk berunjuk rasa apalagi tema yang di usung oleh para dokter di Indonesia adalah dalam rangka memperjuangkan reformasi kesehatan untuk kepentingan bersama, bukan untuk kesejahteraan pribadi.
Tentunya ini merupakan indikasi yang baik. Sejarah mengatakan bahwa ketika suatu bangsa mengalami kemunduran, dokter dan guru lah yang akan mengawali kembali kebangkitannya.(vit/vit)
0 Response to "Menyoal Unjuk Rasa Dokter dari Sudut Pandang Ilmiah"
Posting Komentar