Seperti halnya disampaikan dr IGDN Nalendra, SpB, SpBTKV(K). Sebagai dokter militer yang sudah puluhan tahun menggelar bakti sosial dengan KRI Soeharso yang khusus memberikan layanan kesehatan, ia tahu betul kondisi di lapangan.
"Perlu dipahami bahwa biaya operasionalnya sangat mahal. Belum lagi untuk pemeliharaannya, apakah harus dokter sendiri?" tandasnya dalam Simposium Adventure and Remote Medicine di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Selasa (15/11/2016).
Beragam tantangan pun diuraikan Direktur RSAL Dr Ramelan Surabaya tersebut. Begitu sampai di daerah terpencil maupun perbatasan, ia dan timnya tidak hanya menemukan daerah dengan layanan kesehatan yang tidak memadai, tetapi juga kurangnya kepedulian pemerintah daerah terhadap pemenuhan akses tersebut.
"Kemudian tidak seluruh puskesmas atau rumah sakit yang ditemui pun dipimpin oleh orang kesehatan. Bahkan saya pernah menemukan sebuah puskesmas yang dipimpin oleh seorang guru, lalu apa yang bisa dilakukan?" urainya.
Baca juga: Ingin Mengobati Hingga ke Pelosok Tanah Air, Unair Rintis RS Terapung
Hal lain yang disoroti dr Nalendra sekaligus menjadi pusat keprihatinannya adalah banyaknya kasus yang dihadapi di daerah terpencil. "Lebih banyak dukanya kalau saya bilang," imbuhnya.
Bapak dua anak ini mengungkapkan, sekali bersandar, kru dari KRI Soeharso bisa melakukan 500 tindakan medis. Semisal untuk operasi katarak, dalam satu hari krunya bisa melakukan 100 tindakan. Begitu juga dengan operasi bibir sumbing, dalam sehari krunya mampu menyelesaikan 30 tindakan.
"Itu pun harus kerja rodi karena tingginya kebutuhan," lanjutnya.
KRI Soeharso (Foto: Rahma Lillahi S/detikHealth) |
Di sisi lain, kru medis dari KRI Soeharso tak bisa asal menangani pasien. Krunya berkoordinasi dengan tim yang sudah ada di pos yang akan dikunjungi untuk memetakan berapa banyak kasus yang akan ditangani atau kasus apa saja yang akan dihadapi. "Nanti kita tinggal bawa dokter yang sesuai dengan kebutuhan," katanya.
Ini belum termasuk persoalan teknis ketika membawa kapal besar ke daerah terpencil. "Tidak semua daerah itu ada tempat bersandarnya, jadi kadang kami hanya menurunkan dua LCU (sejenis sekoci, red) untuk menjangkau pasien atau helikopter," kisahnya.
Bahkan dalam sekali berlayar, timnya hanya bisa menjangkau penduduk di 5-6 pulau saja, tidak bisa ke pulau-pulau kecil di sekitarnya, sedangkan pada kenyataannya Indonesia memiliki ribuan pulau, baik besar maupun kecil yang harus mendapatkan layanan kesehatan yang sama.
KRI Soeharso adalah kapal rumah sakit terbesar dan salah satu dari hanya dua kapal rumah sakit di Asia Tenggara, selain yang dimiliki Vietnam. Kapal buatan Korea Selatan ini sendiri telah menjelajah ke berbagai daerah seperti Merauke, Sikka, Wasior dan pulau-pulau kecil lainnya.
Untuk fasilitas, KRI sepanjang 112 meter dengan lebar 22 meter ini memiliki dua kamar operasi, dua ICU, enam poliklinik, lengkap dengan ruang farmasi, radiologi hingga kamar jenazah. "Apabila terjadi disaster, dek kita bisa menangani ribuan orang, sampai 7.000 orang," pungkasnya.
Baca juga: Rail Clinic, Ketika Layanan Kesehatan Dilakukan di Atas Gerbong Kereta Api(lll/vit)
0 Response to "Tantangan Pengabdian pada Negeri dengan RS Terapung"
Posting Komentar