Dimulai hasil riset kecil-kecilan yang dilakukannya saat masih mengambil spesialis mata di tahun 1990-an. Saat itu ia membandingkan antara jumlah anak kelas 5 Sekolah Dasar yang mengalami miopia atau mata minus di kota Yogyakarta dengan di daerah pinggiran.
"Waktu itu anak kelas 5 yang di kota 12 persen miopia. Tetapi ketika saya bandingkan dengan di Samas (Bantul, red) angkanya masih 0 persen," urainya.
Hal senada ditemukannya saat menggelar survei lain di tahun 2013. Ia mengamati jumlah penderita miopia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM di tahun itu, dan ahli oftalmologi itu pun terkejut begitu tahu bahwa 68 persen mahasiswa kedokteran di UGM di tahun itu menyandang miopia.
"Angkanya mungkin sudah bertambah sekarang karena terjadi 'booming myopia'," katanya kepada wartawan di Poli Mata RSUP Dr Sardjito baru-baru ini.
'Booming myopia' bisa diartikan sebagai peningkatan jumlah penyandang rabun jauh yang luar biasa, dalam kurun lima tahun terakhir. Dari catatannya, booming ini dimulai di Asia Timur pada kisaran tahun 2012. Bahkan fenomena ini sempat disebut sebagai 'Hongkong Myopia'.
Saat itu, prevalensi miopia pada anak usia 6 tahun di Taiwan mencapai 12 persen dan pada usia 18 tahun mencapai 84 persen. Proporsi yang sama juga ditemukan di Korea Selatan dan Jepang. Sedangkan di Indonesia sendiri, data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, kelainan refraksi pada anak usia di atas 6 tahun adalah 9,2 persen.
Namun dari hasil penelitian Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran UGM di tahun 2015 pada anak usia 6-13 tahun menunjukkan, dari anak yang mengalami keluhan penglihatan di kelas, 42,2 persen memiliki kelainan refraksi dan 32,7 persen di antaranya dipastikan miopia.
Lantas apa sebabnya? Prof Suhardjo menduga ini ada kaitannya dengan semakin banyaknya kegiatan melihat dekat pada anak-anak. "Kegiatan melihat dekatnya tidak hanya pada buku, tetapi juga gadget, risikonya sama besarnya. Padahal inilah yang menambah risiko minus karena mata mengalami akomodasi secara terus-menerus," paparnya.
Dan tren ini tidak hanya ditemukan lagi di perkotaan, melainkan hingga ke pedesaan, kendati diakui Prof Suhardjo, angka penyandang miopia di perkotaan atau urban masih jauh lebih banyak dibanding di pedesaan (rural areas).
Baca juga: Faktor Tidak Tahu Jadi 'Batu Sandungan' Penanganan Katarak di Indonesia
Untuk mencegahnya, orang tua disarankan mengambil peranan yang lebih besar dalam membatasi penggunaan gadget pada anak. Bukannya melarang, tetapi membiasakan anak tidak 'memelototi' gadget dalam waktu lama.
"Misal tiap 50 menit istirahat, 10 menit aja cukup. Atau kalau baca buku di ruangan dengan lampu yang terang," sarannya.
Prof Suhardjo menambahkan, mata minus sebenarnya tidak jadi soal asalkan minusnya tidak lebih dari 6, sebab bisa menimbulkan komplikasi mata yang lebih berat seperti myopia retinopati. Apalagi pemilik mata minus tinggi biasanya dapat menurunkan kondisinya ini ke keturunannya.
"Untungnya yang sampai setinggi ini sedikit di populasi, hanya sekitar 10 persen," pungkasnya.
Baca juga: Punya Riwayat Glaukoma dalam Keluarga? Ayo Segera Periksakan Diri(lll/up)
0 Response to "Mau Buku ataupun Gadget, Kalau Terlalu Dekat Sama-sama Berisiko Miopia"
Posting Komentar