Kaya Sumber Daya Alam, Kenapa Indonesia Masih Impor 95 Persen Bahan Baku Obat?

Jakarta, Indonesia kaya akan sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan untuk bahan baku obat. Hanya saja, kenyataannya impor bahan baku obat mencapai 95 persen. Itu menandakan Indonesia belum bisa berswasembada obat.

Hal ini amat disayangkan karena Indonesia memiliki 30 ribu spesies kekayaan sumber daya hayati yang berpotensi dimanfaatkan sebagai obat modern berbahan alam. Nah, mengapa hal ini bisa terjadi?

"Kita memang bangga punya banyak bahan, tapi perlu IPTEK untuk mengembangkannya sampai jadi bisa menjadi produk obat," tegas Ketua Pengurus Yayasan SDM IPTEK The Habibie Center Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro di di Gedung DLBS PT Dexa Medica, Cikarang, Jawa Barat, Kamis (27/10/2016).

Patut diingat, IPTEK membutuhkan investasi dari segi Sumber Daya Manusia, misalnya peneliti, kemudian investasi dari segi pengembangan dan pemasaran. Sayangnya, investor masih kurang tertarik akan riset bahan baku obat. Untuk itu, diteknakan Porf Wardiman diperlukan peran pemerintah untuk bisa memberi dorongan.

Baca juga: Kaya Keanekaragaman Hayati, RI Tak Perlu Impor Bahan Baku Obat Herba

Penelitian mendasar amat dibutuhkan untuk riset di bidang farmasi yang nantinya bisa berujung pada produk yang bisa dipasarkan di masyarakat. Sayangnya, seperti diungkapkan Ketua Umum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dr Sangkot Marzuki, hampir tidak ada penelitian mendasar yang menghasilkan ilmu pengetahuan.

"Yang banyak sekarang penelitian untuk kenaikan pangkat. Kemudian, dana dari pemerintah hampir nggak ada. Sehingga, nggak benar kita buang-buang dana saja untuk penelitian. Padahal, penelitian mendasar benar- benar penting untuk Indonesia," kata Prof Sangkot.

"Dana penelitian 0,09 persen dari GDP itu sangat kecil sekali. Dari segi kepantasan suatu bangsa sepertinya malu. Tapi di luar itu kalau dana dinaikkan 10 kali tanpa regulasi yang baik, uang itu bisa sia-sia. Sehingga kerja pemerintah itu banyak," kata Prof Sangkot.

Hadir dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif LlBS Raymond R Tjandrawinata, PhD, MS, MBA mengatakan tantangan dalam riset di bidang farmasi yakni perlu tersedianya SDM yang berkompeten. Lalu, perlu di pastikan apakah yang diinvestasikan bisa menghasilan dan ke depannya bisa benar-benar dipasarkan alias tidak hanya failed di gudang. Kemudian, perlu dipastikan tiap project bisa berjalan dengan baik.

Ketika hasil penelitian sudah dipublikasi di jurnal internasional dan dipatenkan, regulasi untuk mendapat izin edar belum tentu mudah. Jika izin edar sudah keluar, ada tantangan lagi yakni bagaimana nanti dokter akan meresepkan obat herba tersebut sehingga perlu adanya edukasi ke dokter.

"Ini peran industri untuk lakukan penelitian standar. Nah, saat uji klinis butuh koordinasi dengan para klinisi, termasuk dokter di RS. Lalu pasiennya mau nggak ikut uji klinis? Problem nomor satu dalam uji klinis kebanyakan pasien nggak mau ikut uji klinis. Padahal kan kita pantau terus. Semoga, dengan adanya Inpres No 6 pada Juni 2016 lalu, tentang percepatan perkembangan industri farmasi dan alkes, kita bisa majukak riset di bidang farmasi," papar Raymond.

Baca juga: Menristekdikti Harap Keanekaragaman Hayati Indonesia Diteliti untuk Bahan Baku Obat

(rdn/vit)

Related Posts :

0 Response to "Kaya Sumber Daya Alam, Kenapa Indonesia Masih Impor 95 Persen Bahan Baku Obat?"

Posting Komentar