Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi mengapa para pesohor tersebut menggunakan narkoba, baik faktor internal maupun eksternal. Namun, apapun alasannya peristiwa ini sejatinya memberikan peringatan bahwa masalah penggunaan narkoba dapat menjangkiti siapapun, termasuk para pekerja seni yang popular di masyarakat. Apalagi lingkungan pekerjaan maupun pergaulan mereka juga rentan untuk disusupi oleh bandar maupun pengedar yang berusaha agar bisnisnya berjalan dengan lancar dengan menargetkan mereka sebagai konsumen setia, karena dianggap mampu untuk membiayai kebutuhan pemakaian narkobanya.
Catatan Terkait Penangkapan Artis
Tentu patut diapresiasi kinerja aparat yang mengungkap permasalahan ini, tetapi terdapat catatan yang perlu diperhatikan. Yang pertama, penangkapan para pesohor ini tak hanya membuka mata bahwa masih banyak peredaran narkoba di kalangan publik figur, yang kedua adalah perlunya evaluasi dalam upaya demand reduction yang telah dijalankan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa penanganan masalah narkoba tidak hanya terpaku pada pengurangan ketersediaan narkoba saja (supply reduction) namun juga perlunya upaya pengurangan permintaan akan narkoba tersebut.
Baca juga: Eks Pecandu Narkoba Punya Pantangan Selepas Rehabilitasi, Ini Salah Satunya
Penangkapan artis ini kemudian menimbulkan berbagai pertanyaan di tengah masyarakat, apakah sebagai upaya supply reduction ataukah upaya demand reduction. Jika dimaksudkan upaya menekan supply, mengapa si artis yang notabene pengguna, ditangkap terlebih dahulu, sementara pengedar maupun bandarnya ditangkap belakangan. Pertanyaan kedua yang sering muncul adalah jika proses penangkapan artis bagian dari demand reduction, mengapa sang artis justru dijebloskan ke dalam penjara, sementara kebanyakan mereka tidak terlibat dalam jaringan. Sebagian masyarakat lainnya malah berpikir bahwa penangkapan artis ini rentan terhadap aksi penyuapan maupun pemerasan, apalagi jika kemudian sang artis berupaya mengalihkan hukumannya ke arah rehabilitasi, sementara masyarakat biasa yang juga ditangkap karena menggunakan narkoba, tidak banyak mendapatkan akses rehabilitasi.
Adanya pemikiran seperti itu tentu tidak dapat dihindarkan, terlebih terkadang terdapat perbedaan pandangan terhadap tafsir pasal-pasal rehabilitasi dikalangan penegak hukum, di mana sebetulnya semangat undang-undang narkotika nomor 35 tahun 2009 dalam hal ini adalah bagaimana para pecandu atau penyalahguna narkoba mendapat akses untuk berobat. Kemudahan akses terhadap terapi dan rehabilitasi merupakan hal penting dalam upaya demand reduction selain kegiatan yang bersifat pencegahan. Penangkapan artis tersebut barangkali dimaksudkan menimbulkan efek penggetar terhadap mereka yang memakai narkoba agar segera berhenti, dan pergi mencari pertolongan ke tempat-tempat terapi, namun boleh dibilang jika usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan. Pendekatan kriminalisasi justru membuat mereka yang mengalami adiksi terhadap narkoba enggan untuk mengakses tempat rehabilitasi. Tingginya stigma juga membuat mereka khawatir identitasnya terbongkar.
Perlunya Pendekatan Community Mental Health
Kehidupan artis yang sibuk dengan jadwal yang padat membuat mereka rentan terhadap burn-out, apalagi jika kehidupan pribadinya menjadi sorotan media, atau menjadi bulan-bulanan media sosial, maka stressor besar ini dapat memicu depresi, gangguan cemas, atau masalah kesehatan jiwa lainnya seperti penyalahgunaan narkoba sebagai upaya self-medication. Selain itu minimnya "menu" pilihan terapi juga semakin mempersempit akses, terutama dengan timbulnya kekhawatiran soal nafkah atau penghasilan pada mereka yang masih produktif sebagaimana para pesohor tersebut. Selama ini, pilihan terapi dan rehabilitasi lebih banyak menggunakan prinsip institusional, utamanya pendekatan residential atau terapi rawat inap yang memerlukan jangka waktu panjang, dan seakan-akan tidak ada pilihan yang fleksibel dan mengakomodir kebutuhan mereka.
Mendorong adanya beragam pilihan dalam terapi dan rehabilitasi yang sesuai dengan kebutuhan individu pecandu narkoba merupakan kebutuhan mendesak. Oleh karena itu stakeholder terkait perlu berpikir keras bagaimana menyediakan jenis terapi yang mudah diakses dan diterima oleh mereka yang mengalami ini. Pendekatan community mental health dapat menjadi pilihan. Pendekatan ini berupaya mendekatkan layanan didalam komunitas masyarakat sehingga dapat mengenali kebutuhan individu tersebut beserta keluarganya, membangun tujuan, kekuatan, dan ketahanan individu yang berorientasi pada pemulihan, serta membangun jaringan guna mendukung proses pemulihan yang fungsional. Jaringan ini adalah bagian dari manajemen kasus yang akan menghubungkan kebutuhan mereka dengan berbagai modalitas terapi yang tersedia baik berupa intervensi dini, penanganan kondisi akut, maupun terapi lain yang berkesinambungan.
Tentu saja pendekatan ini tidak hanya dapat diterapkan pada artis, namun seluruh lapisan masyarakat yang mengalami gangguan penggunaan narkoba ataupun masalah kesehatan mental lainnya. Selain pertimbangan akses dan akseptabilitas, pendekatan ini dinilai jauh lebih murah ongkosnya, dibandingkan pendekatan institusional semata. Dengan pendekatan ini, stigma juga diharapkan berkurang, sehingga masyarakat memandang orang dengan gangguan penggunaan narkoba, tidak lagi sebagai kriminal, namun sebagai manusia yang membutuhkan pertolongan. Pemahaman yang benar akan hal ini diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang suportif terhadap proses pemulihan mereka yang mengalami gangguan penggunaan narkoba, sehingga demand terhadap narkoba dapat turun.
Baca juga: Jennifer Dunn Relapse Lagi, Dokter: Trigger Relapse Itu Macam-Macam
Hari Nugroho
Master Candidate in Addiction Studies di King's College London. Penerima beasiswa Chevening 2017/18(up/up)
0 Response to "Perlunya Pendekatan Terapi Berbasis Komunitas Pada Artis Pengguna Narkoba"
Posting Komentar