Mei: 'Jejak' Flu Burung Masih Mengancam di Indonesia

Jakarta, Meski tidak begitu santer terdengar, sejatinya flu burung masih menjadi ancaman di Indonesia. Hanya saja sifatnya laten.

Diungkapkan Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, drh I Ketut Diarmita, MP, tren flu burung memang cenderung menurun dari tahun ke tahun, tetapi tidak pernah hilang sama sekali.

"Trennya memang turun, tapi nggak hilang-hilang. Beda dengan Malaysia yang sudah bebas dari flu burung sejak beberapa tahun lalu," katanya seperti diberitakan detikHealth sebelumnya.

Khusus tahun 2016, kasusnya malah lebih banyak daripada di tahun 2015. Pada tahun 2015, total ada 123 kasus flu burung yang terjadi pada unggas. Sementara untuk tahun 2016, total kasus hingga bulan Maret sudah mencapai 148.

Ketut menduga ada tiga alasan di balik peningkatan kasus ini. Pertama, cuaca ekstrem yang disebabkan badai El Nino di akhir tahun 2015. El Nino membuat beberapa wilayah di Indonesia mengalami kekeringan yang diselingi beberapa hari hujan deras. Hal ini berdampak kepada daya tahan tubuh unggas sehingga lebih mudah terserang infeksi flu burung.

Kedua, ada strain virus baru yang sudah kebal terhadap vaksinasi yang ada saat ini. Hasil pemeriksaan di Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates, Yogyakarta menunjukkan, sebagian besar kasus kematian unggas pada tahun 2015 dan 2016 disebabkan oleh infeksi virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) H5N1 clade 2.3.2.1.

Ketiga, kewaspadaan peternak terhadap ancaman flu burung menurun karena penurunan tren kasus sejak tahun 2010, sehingga mereka lengah dalam menerapkan keamanan dan vaksinasi. Akibatnya kasus flu burung naik kembali.

Baca juga: Hindari Risiko Flu Burung, Begini Saran Kementan

Untungnya, menurut Ketut, kasus penularan flu burung ke manusia telah menurun drastis. Yang harus diwaspadai adalah potensi penularan pada manusia lewat peternakan yang berada di lingkungan rumah.

James McGrane, Team Leader Food and Agriculture Organization, Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (FAO-ECTAD) menyebut pemeliharaan unggas di lingkungan rumah sangat tidak disarankan karena hewan-hewan tersebut berpotensi besar mengidap virus flu burung dari burung-burung liar atau sumber air di sekitar yang sudah terkontaminasi virus.

Ditambahkan Ketut, risiko penularan juga bisa terjadi ketika unggas dibeli dalam bentuk masih hidup dan dibawa pulang. "Kalau belinya di pasar becek itu kan potensi unggasnya terinfeksi AI (Avian influenza) tinggi. Makanya kalau beli ayam atau bebek, beli dagingnya saja. Karena risiko penularan ke manusia melalui daging itu sangat rendah," ungkap Ketut.

Di musim penghujan, risiko penyebaran virus flu burung juga meningkat karena virus ini cenderung dormant atau tidak aktif di musim kemarau. Memasuki musim hujan, virus baru aktif dan rajin berkembangbiak. Itulah sebabnya tren penyebaran virus flu burung sejak tahun 2005 hingga 2015 selalu meningkat di bulan Maret dan April. Kemudian berangsur-angsur turun di bulan Mei hingga Juli.

Di sisi lain, James mengatakan ini bukan berarti tidak boleh memelihara unggas seperti burung atau ayam di rumah, asalkan betul-betul dijaga kesehatan peliharaan sekaligus kebersihan lingkungannya.

Baca juga: Kasus Flu Burung Meningkat, Ditengarai karena El Nino(lll/vit)

Related Posts :

0 Response to "Mei: 'Jejak' Flu Burung Masih Mengancam di Indonesia"

Posting Komentar