Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebut prevalensi hipertensi atau tekanan darah tinggi secara nasional mencapai 25,8 persen. Angka ini menjadi sorotan karena hipertensi erat kaitannya dengan beragam penyakit kronis seperti penyakit jantung, stroke, ginjal, diabetes hingga kebutaan.
"Tidak ada satupun provinsi yang 'hijau', kecuali Papua. Dari 34 hanya satu provinsi saja yang statusnya hijau," ungkap Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), dr HM Subuh, MPPM seperti diberitakan detikHealth sebelumnya.
Status 'hijau' di sini menunjukkan provinsi dengan prevalensi hipertensi paling rendah di Indonesia. Di Papua, angkanya hanya mencapai 16,8 persen. Sedangkan yang terburuk adalah Bangka Belitung dengan prevalensi 30,9 persen, disusul Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Jawa Barat.
Bicara tentang prestasi Papua dalam hal hipertensi, Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular, dr Lily Sulistyowati, MM mengemukakan, ini kemungkinan ada kaitannya dengan gaya hidup orang Papua.
Konsumsi alkohol dan rokok di propinsi ujung timur tersebut bisa saja tinggi, akan tetapi ini juga diimbangi dengan ragam makanan mereka yang dianggap lebih menyehatkan dibanding daerah lain.
Warga Papua juga jarang menggunakan garam dan minyak sebagai bagian dari masakan mereka. "Udang langsung bakar, ikan langsung bakar, daging langsung bakar, nggak pakai bumbu apa-apa lagi," tandasnya.
Baca juga: Olahraga Bisa Turunkan Tensi, Tapi Hati-hati Jika Sudah Darah Tinggi
Keprihatinan lain dikemukakan dr Arieska Ann Soenarta, SpJK(K), FIHA dari Indonesian Society of Hypertension (InaSH). Hipertensi bukan lagi menjadi masalah orang dewasa, tetapi juga dialami anak=anak. Sekitar 1-2 persen anak mengalami hipertensi dan jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun.
"Gaya hidup anak-anak berubah. Obesitas meningkat dan cenderung kurang beraktivitas," katanya dalam kesempatan terpisah.
Untuk mengantisipasi hal ini, deteksi dini sudah bisa dilakukan sejak usia 3 tahun bilamana si anak dinilai memiliki risiko. "Deteksi dini diperlukan agar bisa dipantau. Jangan sampai faktor risikonya bertambah," jelas dr Ann.
Lantas mengapa prevalensi hipertensi begitu tinggi di Indonesia? Bisa jadi karena hipertensi tidak pernah dilihat sebagai kondisi serius. Petugas Teknis Penyakit Tidak Menular WHO, dr Sharad Adhikary menjelaskan, ada dua hal yang bisa dijadikan alasan mengapa orang jarang menganggap serius hipertensi.
Pertama, ada pandangan di masyarakat bahwa obat bisa mengatasi semua masalah. "Ya ini memang benar kalau kita minum hipertensi lalu minum obat teratur kita bisa hidup normal, tapi masalahnya saat itu tanda komplikasi serius umumnya sudah muncul," katanya.
Kedua, masyarakat terbiasa mendengarnya. Pengidapnya terbilang banyak dan kondisi ini tak langsung menunjukkan masalah, maka hipertensi pun dianggap sebagai sesuatu yang normal.
"Mereka berpikir 'ah ini bukan masalah saya saja, ada banyak orang yang memilikinya dan mungkin juga karena saya sudah tua'. Jadi ini dianggap sebagai sesuatu yang normal," lanjutnya.
Baca juga: Dampak Hipertensi: Impotensi Lebih Ditakuti Dibanding Risiko Kematian Dini
Selain mengubah pola pikir ini, perlu ditekankan bahwa mengukur tekanan darah adalah salah satu bentuk deteksi dini dan sederhana yang seharusnya bisa dilakukan untuk mengetahui prevalensi hipertensi seseorang. Yang paling direkomendasikan adalah minimal satu bulan sekali.
"Ini yang dikatakan dua pertiga masyarakat kita (kurang kesadaran -red). Jangankan tensi ya, siapa deh di antara kita yang hari ini mengukur nadi? Itu nggak pakai alat lho hanya pakai jam. Nadi itu merupakan salah satu juga awareness selain tensi meter," pungkas Subuh.(lll/vit)
0 Response to "Mei: Hipertensi Masih Sering Dianggap Hal Biasa"
Posting Komentar