Di Indonesia, permainan berbasis augmenter reality ini juga sangat populer, utamanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Biasanya taman atau area jogging menjadi 'surga' bagi para pemain, yang disebut monster trainer', untuk menangkap monster.
Prinsipnya, pemain diminta menangkap Pokemon-Pokemon yang ada di sekitarnya. Sebagian besar dengan berjalan kaki. Itulah sebabnya Pokemon Go sempat digadang-gadang menjadi permainan yang mempromosikan aktivitas fisik.
Selain mengejar monster, pergerakan pemain juga dibutuhkan untuk keperluan lain, yaitu menetaskan telur monster. Ini bisa jadi satu-satunya kegiatan yang bisa menjadi patokan untuk menghitung pembakaran kalori. Ada 3 jenis telur yang tersedia, yaitu telur berlabel 2 km, 5 km dan 10 km.
Telur 2 km berarti harus ditetaskan dengan berjalan kaki sejauh 2 km menurut perhitungan GPS (Global Positioning System). Begitu juga dengan 5 km dan 10 km. Pemain pun tak bisa curang misal naik kendaraan sebab pergerakan untuk menetaskan telur dibatasi hanya 30 km/jam. Lebih dari itu, telur takkan menetas.
Kementerian Kesehatan AS menyebut, menetaskan 1 butir telur 5 km bisa membakar sekitar 300 kalori. Namun pada kenyataannya, saat bermain, aktivitas fisik yang dilakukan akan buyar karena seringnya pemain harus berhenti untuk menangkap Pokemon atau di Pokestop untuk mendapatkan berbagai bonus.
Pakar juga tidak menyarankan anak-anak untuk mencoba permainan ini karena permainan ini membutuhkan kendali diri yang baik. Jika tidak, anak akan mudah terlena pada permainan dan menjadi kecanduan. Selain itu, permainan ini bersifat multitasking agar bisa bermain tapi sambil tetap fokus pada lingkungan di sekitarnya.
ilustrasi/ Foto: BBC Magazine
|
"Kita juga harus tahu kapan main atau kapan setop. Misalnya pada anak yang kontrol dirinya kurang, di sekolah terus tahu-tahu keluar aja gitu dari sekolah, kan bahaya," tutur psikolog anak dan remaja dari RaQQi - Human Development & Learning Centre, Ratih Zulhaqqi seperti diberitakan detikHealth sebelumnya.
Menanggapi hal yang sama, psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani MPsi juga mengatakan, dengan bermain Pokemon Go, terutama tanpa pengawasan, dikhawatirkan anak-anak bisa masuk ke area-area yang cenderung membahayakan mereka.
"Kemudian khawatir akan faktor keamanan anak saat mengejar Pokemon ini. Lalu khawatir kalau anak-anak ini kecanduan gadget. Selain itu, ada kekhawatiran lain, misalnya mereka jadi menghabiskan terlalu banyak waktu buat main dan mengesampingkan hal lain yang lebih penting seperti belajar atau bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya secara nyata," tutur Nina.
Baca juga: Berburu Pokemon di Jogging Track GBK Senayan, Berapa Kalori yang Terbakar?
Dari penelitian yang dilakukan Harvard University terungkap pemain Pokemon Go rata-rata bisa mengumpulkan 955 langkah dalam sehari di minggu pertama bermain Pokemon Go. Ini adalah penelitian pertama yang mengungkap tentang manfaat Pokemon Go.
Akan tetapi itu hanya berlaku bagi yang aktif saja, misal setiap hari bermain Pokemon Go. Tak hanya itu, peneliti juga menemukan bahwa keaktifan mereka hanya bertahan hingga tiga pekan pertama saja.
"Pokemon Go dikatakan dapat meningkatkan kesehatan publik dengan mendorong aktivitas fisik pada pemainnya. Tetapi studi kami membuktikan, dampak bagi kesehatannya hanya sedang-sedang saja," tulis peneliti dalam laporan mereka yang dipublikasikan British Medical Journal.
Studi lain mengatakan Pokemon Go juga ikut andil dalam meningkatkan kasus cedera maupun kecelakaan di jalan raya akibat kurangnya kewaspadaan saat bermain.
Baca juga: Tips Dokter Agar Olahraga dengan Pokemon Bisa Lebih Maksimal
(lll/vit)
0 Response to "Juli: Demam Pokemon Go"
Posting Komentar