7 Anak asal Indonesia yang mendapat beasiswa adalah Wildan Abdurrahman, Devy Rosmala Dewi, Fauza Azima Zukra, Bella Ndolu, Santi Susanti, Bunga Annissa, dan Naopal Fahmi Fauzan. 3 Nama pertama boleh dibilang senior karena sudah di Kuba lebih dari 3 tahun dan saat ini sedang mengikuti program internship atau praktik lapangan di provinsi-provinsi Kuba.
Sedangkan 4 nama lainnya masih belajar di kampus, yakni Escuela Latinoameriana de Medicine (ELAM) atau Sekolah Kedokteran Amerika Latin yang berada di Havana, Ibu Kota Kuba. Sekolah ini didirikan pada tahun 1999. Mahasiswanya berasal dari berbagai negara. Ada juga dari AS, seteru Kuba dalam kancah politik dunia.
Bella, Santi, Bunga, dan Naopal ditemui detikHealth di Wisma Indonesia atau rumah dinas Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) untuk Kuba, Alfred T Palembangan, pekan lalu. Saat itu, mereka diundang hadir untuk berdialog dengan delegasi DPR RI yang terdiri dari Wakil Ketua Fadli Zon dan 3 anggota, Daryatmo Mardiyanto (PDIP), Ahmad Zacky Siradj (Partai Golkar), dan Muhammad Syafii (Gerindra).
|
Baca juga: Pengalaman Melahirkan Membuat dr Gita Lebih Berempati Saat Bantu Persalinan
"Kami diajari menjadi dokter kemanusiaan di sini. Tak boleh berorientasi ke materi," kata Santi yang duduk bersebelahan dengan Bunga.
"Prinsipnya, dokter yang melayani, bukan bekerja berdasarkan tarif atau biaya," tambah remaja putri berjilbab asal Sukabumi ini.
Sekadar diketahui, Kuba yang menganut sistem sosialis-komunis menggratiskan biaya berobat rakyatnya. Dokter-dokter bekerja untuk pemerintah dan rakyat. Jadi mereka memang tidak diizinkan memasang tarif karena sudah digaji pemerintah.
Santi sudah hampir 2 tahun di Kuba, sama seperti Bella. Sedangkan Bunga baru setahun, dan Naopal 3 bulan.
Santi dan teman-teman akan menghabiskan waktu 7 tahun untuk belajar kedokteran di ELAM. Satu tahun pertama belajar bahasa Spanyol, bahasa resmi Kuba. Dua tahun berikutnya belajar sains dan ilmu kedokteran. Tak melulu di dalam kampus, tapi juga sudah mulai terjun ke poliklinik dan masyarakat secara langsung.
"Empat tahun terakhir di masa studi, kami diharuskan praktik ke provinsi (di luar Havana)," kata Santi.
Tentu saja, saat praktik lapangan, 7 mahasiswa ini tak dibayar. Selama belajar, kebutuhan mereka sudah dicukupi pemerintah melalui beasiswa. Ada uang saku pas-pasan: Rp 60 ribu per bulan!
"Jadi di sini memang lebih banyak praktiknya. Durasinya juga lama. Tujuannya agar kami berinteraksi dengan baik ke pasien dan lebih memahami kondisi (lingkungan)," jelas Santi.
Baca juga: Tak Cuma Ikhlas Dibayar Berapapun oleh Pasien, Dokter Ini Juga Tak Pelit Ilmu
Bunga dan Naopal yang terhitung baru masuk Kuba tak kalah antusias bercerita. Menurut mereka kehidupan di Kuba sangat berbeda dibanding Indonesia. Tak semua barang ada dan dijual. Bahkan untuk komunikasi, mereka kesulitan. Wi-Fi hanya ada di titik yang terbatas.
"Makanya kami senang kalau diundang Pak Dubes atau KBRI. Pasti ada makanan Indonesia, juga ada Wi-Fi di sini," kata Bunga sambil tersenyum.
Santi dan teman-temannya tak berharap sering pulang ke Indonesia. Jarak Kuba ke Indonesia puluhan ribu kilometer, terpisah lautan dan negara. Setidaknya butuh waktu 30 jam dengan pesawat terbang.
Malam itu, Santi, Bella, Bunga, dan Naopal terihat ceria. Usai acara dan makan malam, mereka berbincang hangat dengan delegasi DPR. Pertemuan itu seolah mengobati kerinduan mereka akan kampung halaman. Juga membuka ruang 'curhat' tentang kehidupan serba terbatas di Kuba, dokter kemanusiaan, dan Indonesia.
(try/vit)
0 Response to "Ketika Anak-anak Indonesia Belajar Menjadi Dokter 'Kemanusiaan' di Kuba"
Posting Komentar