Cerita Yasri, Pekerja Sosial yang Kerap Dijuluki 'Pahlawan Modal Sosial'

Jakarta, Sejak tahun 2008, Yasri Gito (40) menjadi pekerja sosial di Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Kementerian Sosial. Selama itu, ia sudah mendampingi korban atau pelaku pelanggaran hukum.

Tugas lapangan penuh mulai dijalankan Yasri sejak tahun 2014. Tak hanya di wilayah Gorontalo saja, Yasri juga memberi pendampingan di beberapa kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah. Dalam menjalankan tugasnya, Yasri bekerja sama dengan pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Selama hampir 8 tahun terjun dalam bidang pendampingan sosial, beragam kasus ditangani Yasri. Di antaranya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), adopsi anak, korban perdagangan anak, pelecehan seksual yang dialami atau dilakukan anak, kasus hukum yang dialami lansia, serta keluarga yang memiliki masalah psikososial.

"Saya concern di bidang anak dan lansia. Apalagi, lansia belum memiliki payung hukum yang jelas. Tidak seperti anak-anak. Misalnya lansia pelaku pemerkosaan anak, otomatis dia kena UU Perlindungan Anak dan UU tentang Perkosaan. Nah, posisi psikologi si pelaku ini yang saya dalami," tutur Yasri saat berbincang dengan detikHealth, Kamis (10/11/2016).

Dalam melakukan tugasnya, tak jarang orang lain hanya melihat dari tindakan kriminal yang dilakukan. Padahal, menurut Yasri kondisi psikososial orang yang bersangkutan juga perlu pendampingan sehingga jangan sampai dia merasa terlalu disudutkan. Lagipula, kehadiran Yasri bukan membela kasus yang membelit si orang itu tetapi memberi pendampingan padanya.

Menjadi pekerja sosial dipilih Yasri karena dirinya amat peduli dengan persoalan sosial. Sebab, Yasri melihat kondisi sosial saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk pertumbuhan generasi yang lebih mandiri, mapan, dan lebih berdaya.

Dikatakan Yasri, dengan adanya kemajuan teknologi, nilai-nilai agama dan sosial mulai bergeser dan untuk itulah nilai sosial serta 'modal sosial' perlu dibangun. 'Modal sosial' yang dimaksud Yasri seperti toleransi, kerja sama dan gotong royong.

Baca juga: Duka di Penghujung 2015, Sisi Kelam Perjuangan Para Bidan di Pedalaman

"Itulah mengapa saya tergerak untuk jadi pekerja sosial karena memang banyak nilai luhur yang mulai hilang. Saya sering dijuluki teman sebagai pahlawan modal sosial, tapi saya sendiri tidak pernah mikir sampai sana karena saya berusaha membumikan kesejahteraan sosial dengan meningkatkan nilai luhur agama dan kearifan lokal ketika menangani kasus," papar Yasri.

Cerita Yasri, Pekerja Sosial yang Kerap Dijuluki 'Pahlawan Modal Sosial'Foto: dok. pribadi

Paling Banyak Menangani Kasus Anak Korban Pelecehan Seksual

Sejak tahun 2008 sampai 2013, kasus yang ditangani Yasri tidak terlalu banyak. Tetapi. di tahun 2014, rata-rata Yasri menangani 120 kasus yang beragam. Kemudian, di tahun 2015 ada sekitar 160-an kasus dan sampai November 2016, terdapat 180-an kasus yang ditangani Yasri.

Dari jumlah tersebut, 90 persen adalah kasus pelecehan seksual pada anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Dari 90 persen kasus tersebut, 10 persen pelecehan seksual dilakukan oleh sesama anak. Persentase anak korban pelecehan yang didampingi Yasri yaitu 20 persen untuk anak usia 3-5 tahun; 50 persen untuk 5-10 tahun; dan 30 persen untuk anak usia 10-18 tahun.

Nah, prosedur pendampingan yang dilakukan, sesuai standar LK3 yakni ketika mengetahui ada sebuah kasus, baik dari laporan masyarakat, informasi pihak berwajib, atau didengar sendiri oleh LK3, Yasri dan tim melakukan home visit. Tujuannya, untuk melihat kondisi psikososial si korban atau pelaku, serta melihat kondisi keluarga dan lingkungan.

"Kemudian kita diagnosis dulu apa penyebab masalahnya, lalu setelah dapat diagnosis kita tentukan gimana solusi penyelesaiannya. Dalam menyelesaikan hal ini kita juga berkoordinasi dengan keluarga, tokoh masyarakat dan kepala desa," kata ayah satu anak ini.

Setelah itu, diberikan konseling pada si 'klien' dan juga keluarganya. Sehingga, misalnya klien adalah anak korban pelecehan seks, sinergi berbagai pihak bisa membantu pemulihan trauma atau tekanan psikososial yang dialami anak menggunakan teknik konseling yang sudah ada. Waktu pemulihan 'klien' pun tergantung kasus yang dialami tapi rata-rata, dalam waktu 4 bulan kondisi klien sudah membaik.

Kemudian, akan dilakukan semacam evaluasi untuk melihat perkembangan si klien. Dalam keseharian, Yasri bisa mengunjungi tiga sampai delapan lokasi berbeda. Kadang, demi kelengkapan observasinya, Yasri sampai menginap di rumah kliennya dan tidak pulang ke rumah selama dua minggu.

"Karena kondisi geografis di daerah sini pegunungan dan termasuk daerah tertinggal, akses jalan sulit sehingga saya perlu naik motor kadang waktunya sampai empat sampai lima jam," kata Yasri.

Dalam mendampingi klien, tantangan pasti ia temui. Termasuk budaya dan penolakan orang tua. Jika begitu, Yasri akan melakukan pendekatan dengan melibatkan pemerintah desa dan tokoh masyarakat. Jika mendampingi korban, penolakan keluarga bisa timbul karena keluarga korban sering berpikir Yasri merupakan orang utusan si pelaku untuk menempuh jalan damai.

Tapi kemudian, diberi edukasi bahwa pendampingan yang dilakukan tidak terkait persoalan hukumnya tetapi psikososialnya. Sementara, ketika mendampingi pelaku pelanggaran hukum, respons negatif sering ditunjukkan masyarakat.

"Mereka berpikir kami membela pelaku karena ada pembiaran perilaku pelaku. Untuk itu, dengan melibatkan tokoh masyarakat dan kepala desa kita datangi tetangganya satu per satu dan kita beri penjelasan. Mereka paham dan bahkan ada yang bilang kalau ada masalah boleh dong mereka berkonsultasi," tutur Yasri.

Baca juga: dr Mira dan Perjuangan Tugas di Puskesmas Tanpa Listrik

Yasri adalah salah satu sosok pahlawan masa kini. Ya, karena bukan pekerjaan mudah memberikan pendampingan bagi orang-orang dengan masalah psikososial. Semangat terus Yasri!(rdn/vit)

0 Response to "Cerita Yasri, Pekerja Sosial yang Kerap Dijuluki 'Pahlawan Modal Sosial'"

Posting Komentar