Penuh Tantangan, Begini Kisah Mariya Jadi Bidan di Hutan

Pekanbaru, Inilah sekelumit kisah perjuangan Mariya Kristiana yang mengabdikan dirinya sebagai tenaga kesehatan untuk masyarakat adat di Jambi dan Riau. Dalam pengabdiannya, dia harus keluar masuk hutan demi kesehatan masyarakat.

Setelah menamatkan pendidikan di Akademi Kebidanan Ar Rum Salatiga Jawa Tengah, Mariya Kristiana sempat mengabdi di sejumlah tempat. Mengabdi di klinik perkebunan sawit di Kalimantan, menjadi ibu asrama di almamaternya, hingga bekerja di klinik kesehatan di Kota Semarang.

Awalnya tak terbayang oleh anak pertama dari dua bersaudara ini untuk mengabdikan dirinya di komunitas adat yang tinggal di pedalaman. Namun cerita sepupunya yang sudah sejak tahun 2008 berkecimpung di komunitas adat mulai mengusik pikirannya.

Dibesarkan di tanah Jawa, sangat sulit membayangkan ada kelompok masyarakat yang tinggal di pedalaman, dengan semua aspek kehidupannya bergantung pada hutan. Namun dari cerita sepupu yang pulang kampung setiap masa cutinya, semakin membangkitkan minat Mariya untuk turut mengenal komunitas adat.

Lama perenungan, akhirnya Mariya mengukuhkan dirinya untuk mencoba tantangan mengabdi pada komunitas adat yang tinggal di hutan-hutan. Kesempatan itu terbuka kala Komunitas Konservasi Indonesia WARSI yang membuka lowongan untuk tenaga kesehatan yang akan di tempatkan di suku-suku asli marginal di pedalaman Sumatera, yaitu Orang Rimba, Talang Mamak dan Bathin Sembilan.

Setelah melalui rangkaian proses rekrutmen, Mariya di terima di WARSI pada pertengahan September 2015. Hatinya tidak sabar untuk memulai pertualangannya di Komunitas adat. Hari yang di nanti itupun tiba, tepat sehari menjelang Ulang Tahunnya yang ke 27, Mariya mengawali perjalanan perdananya sebagai fasilitator kesehatan ke Komunitas Talang Mamak di pedalaman Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau.

Karena berangkat menjelang hari ulang tahunnya, Mariya tetap menyiapkan kue ulang tahun sederhana lengkap dengan lilin yang diniatkan akan dinikmati bersama komunitas yang akan dikunjunginya. Waktu itu lokasi kunjungan adalah Nunusan di pinggiran Sungai Gangsal di dalam TNBT. Sejatinya Nunusan bisa dicapai dari Desa Lemang perkampungan di pinggiran TNBT, sedangkan Nunusan sudah masuk ke dalam kawasan taman nasional.

Penuh Tantangan, Begini Kisah Mariya Jadi Bidan di HutanFoto: Chaidir Anwar
Di Nunusan ini terdapat komunitas Talang Mamak yang berjumlah sekitar 12 kepala keluarga. Lemang-Nunusan bisa diakses dengan menggunakan perahu bermotor selama tiga jam. Hanya saja saat kemarau tiba, debit sungai menjadi surut sehingga perahu motor tidak bisa melintas. Tidak ada pilihan lain selain berjalan kaki, menelusuri pinggiran sungai di antara pepohonan dan sesekali harus menyeberangi sungai untuk mencari jalan yang landai.

Bersama fasilitator komunitas Talang Mamak Surana, Mariya mengawali perjalanannya, lengkap dengan alat medis dan obat-obatan serta perlengkapan pribadi dan kue ulang tahun turut dibawanya. Dengan pendampingnya, Mariya berbagi beban yang harus di bawa. Awalnya dia sangat yakin dan bersemangat untuk bertemu dengan komunitas Talang Mamak. Perjalanan di mulai dari pukul 1 siang dari Lemang, setelah sebelumnya mereka menempuh perjalanan sekitar 4 jam berkendara dari Kota Jambi, kantor Komunitas Konservasi Indonesia WARSI.

Awalnya perjalanan masih dilalui dengan canda tawa meski keringat mengucur membasahi badan. Perjalanan semakin berat, karena di rimba yang harusnya memberi kesegaran, tercemar asap pembakaran lahan gambut di Riau yang terjadi waktu itu.

Setelah hampir maghrib, Mariya dan Surana masih juga belum sampai ke Nunusan. Barang bawaan semakin terasa berat, ada rasa putus asa mulai menyergap Mariya. Hatinya kembali bertanya-tanya benarkan ini yang diinginkannya? Seperti inikah medan dan akan selalu dilaluinya untuk hari-hari berikutnya. Masih jauhkan perjalanan itu? Kapan akan sampai di kelompok masyarakat yang di ceritanya sepupunya?

Di tengah istirahat, tanpa terasa air mata membasahi pipinya, tangisnya pun pecah kala hari benar-benar sudah gelap. Sejenak Surana selaku tandem perjalananya terdiam. Perlahan Surana bersuara, "Mar, kalau kita tak melanjutkan perjalanan dan bermalam di sini, sia-sialah kue ulang tahun yang kau bawa, bukankah kamu berniat memakan kue ulang tahun itu dengan komunitas?". Pelan suara Cung, demikian Surana dipanggil, mampu menghentikan tangis Mariya.

Segera di lapnya pipinya yang basah, kemudian berdiri dan menyandang ranselnya. Entah dari mana semangatnya muncul dan tenaganya menjadi kuat kembali untuk melangkah di malam gelap diterangi lampu senter. Mereka berhasil sampai di Nunusan kala jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Mariya lega bertemu dengan komunitas yang selama ini hanya dia dengar dari cerita sepupunya.

Kesesokannya, begitu diberitahu bahwa yang datang adalah seorang bidan, para penduduk Nunusan banyak yang memeriksakan kesehatan. Mulai dari penyakit ringan seperti flu dan pilek, sampai pada pemeriksaan kehamilan.

Melihat respons Komunitas yang sangat antusias dengan tenaga kesehatan, semangat Mariya untuk melakukan pengobatan dasar komunitas adat semakin besar. Pengobatan hari itu diakhiri dengan doa bersama untuk atas perayaan ulang tahun Mariya.

Baca juga: Perjuangan Joko, Ubah Pria 'Kasar' di Sukabumi Menjadi Agen Perubahan

Bagi komunitas adat, tenaga kesehatan yang datang ke mereka masih sangat langka. Makanya tidak heran, kala ada tenaga kesehatan yang datang langsung menjadi rebutan dan tidak pernah sepi pengunjung. Kondisi ini yang mendorong semangat Mariya untuk terus berkunjung ke komunitas-komunitas adat. Medan berat tak lagi menjadi penghalangnya. Tak hanya medan yang berat, dalam menjalan misi pengobatan pada komunitas adat, ada kalanya Mariya juga harus bisa kompromi dan menahan diri, misalnya ketika ada kendala teknis yang dihadapinya.

Pada suatu misi pengobatan ke Komunitas Talang Mamak di Datai, Mariya diharuskan menggunakan jasa ojek motor untuk mencapai Datai di hulu Sungai Gansal dari Simpang Pendowo Keritang. Hanya ojek motorlah satu-satunya kendaraan ke lokasi yang paling hulu Talang Mamak ini.

Penuh Tantangan, Begini Kisah Mariya Jadi Bidan di HutanFoto: Chaidir Anwar
Namun tubuh Mariya yang cukup berisi membuat tukang ojek enggan mengangkutnya. Jalan tanah nan berlumpur dengan medan turun naik, menjadi alasan bagi tukang ojek untuk membawa beban lebih.

Kondisi ini tak menyurutkan Mariya, dia yakin pasti akan ada ojek yang bersedia membawanya menemui suku di pedalaman tersebut. Benar saja, orang baik selalu ada. Kini Mariya malah memiliki langganan ojek yang akan mengantarnya melakukan pengobatan ke komunitas adat yang hanya ada di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh itu yang sebagian besar wilayahnya masuk di Provinsi Riau.

Sebagai fasilitator kesehatan Mariya, tidak hanya berkunjung ke Talang Mamak, namun juga ke komunitas Orang Rimba dan Batin Sembilan. Tidak hanya memberikan pengobatan dasar, namun juga memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat yang ditemuinya. Selanjutnya Mariya juga akan bertindak selaku advokator kala harus mengadvokasikan layanan kesehatan ke pemerintah daerah. Pekerjaan-pekerjaan ini kini menjadi sangat menyenangkan bagi gadis periang ini.

"Kini saya semakin yakin, bahwa hidup ini sangat berarati. Bukan hanya untuk diri kita tetapi juga untuk orang lain," sebut Mariya yang kini kehadirannya selalu di nanti oleh komunitas. Bahkan kala ia menelusuri Sungai Gangsal akan ada saja komunitas yang memintanya mampir. Kadang kala pengobatan bisa dilakukan di perahu yang membawanya.

Baca juga: Cerita Yasri, Pekerja Sosial yang Kerap Dijuluki 'Pahlawan Modal Sosial'

Menurutnya, dengan mengunjungi komunitas-komunitas adat di pedalaman, ia semakin yakin bahwa terdapat kaitan erat antara ketersediaan hutan dengan tingkat kesehatan masyarakat adat yang tinggal di kawasan itu. Setelah mengamati Talang Mamak dan Orang Rimba, Mariya menjadi yakin bahwa ketika hutan masih relatif baik, akan mampu memberi pasokan pangan yang memadai untuk komunitas yang tinggal di dalamnya, namun kala hutan sudah berganti dengan perkebunan monokultur, maka kehidupan komunitas adat akan semakin sulit.

"Di Talang Mamak misalnya, meski terdapat sejumlah penyakit pada mereka, kasusnya relatif bisa tertangani dan dikendalikan. Hanya saja kalau sudah kehilangan sumber daya penghidupan, seperti Orang Rimba yang berada perkebunan sawit, akan sangat sulit untuk mendapatkan kualitas kesehatan hidup yang lebih baik," tutur Mariya.

Untuk itu, lanjut Mariya, peranan negara harus hadir untuk memberikan perlindungan bagi komunitas adat. Tidak hanya berupa layanan kesehatan langsung, namun juga perlindungan sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupan mereka.

(cha/vit)

0 Response to "Penuh Tantangan, Begini Kisah Mariya Jadi Bidan di Hutan"

Posting Komentar